Pada musim panas th 1989, dalam perjalanan ke pedalaman negara
bagian New York, saya mulai memikirkan secara serius kemungkinan
bahwa sains, sains murni, telah berakhir. Saya terbang ke
Universitas Syracuse untuk mewawancarai Roger Penrose, seorang ahli
fisika Inggris yang menjadi dosen tamu di sana. Sebelum bertemu
Penrose, saya bergulat membaca bukunya yang padat dan rumit, "The
Emperor's New Mind", yang secara mengagetkan menjadi bestseller
beberapa bulan kemudian, setelah mendapat pujian di New York Times
Book Review. Di dalam buku itu, Penrose mengamati panorama luas
sains modern dan melihat kekurangannya. Menurut Penrose,
pengetahuan, sekalipun sangat kuat dan kaya, tidak mungkin
menjelaskan misteri eksistensi yang terakhir, yakni kesadaran
manusia.
Penrose berspekulasi bahwa kunci dari kesadaran mungkin tersembunyi
di celah antara kedua teori utama ilmu fisika modern, yakni
mekanika kuantum, yang menguraikan elektromagnetisme dan gaya-gaya
nuklir, dan relativitas umum, teori Einstein tentang gaya berat.
Banyak ahli fisika, mulai dengan Einstein, telah mencoba dan gagal
memadukan mekanika kuantum dan relativitas umum ke dalam suatu
teori "penyatuan" yang tunggal, tanpa sambungan. Di dalam bukunya,
Penrose membuat sketsa tentang bagaimana kira-kira tampaknya teori
penyatuan itu, dan bagaimana teori itu dapat menghasilkan pikiran.
Skemanya, yang melibatkan efek-efek kuantum dan gravitasional yang
eksotik, yang meresapi otak, terasa kabur, berliku-liku, tanpa
didukung bukti-bukti dari ilmu fisika maupun sains syaraf. Tetapi
jika kelak ternyata benar dari segi mana pun, itu akan merupakan
pencapaian yang monumental, sebuah teori yang sekaligus akan
menyatukan ilmu fisika dan memecahkan salah satu masalah filosofis
yang paling tangguh, yakni hubungan antara jiwa dan badan. Saya
pikir, ambisi Penrose itu saja sudah cukup menjadikannya tokoh yang
pantas untuk diprofilkan di majalah Scientific American, yang
mempekerjakan saya sebagai staf penulisnya.
Ketika saya tiba di bandara Syracuse, Penrose telah menunggu saya.
Ia seorang yang mirip malaikat, berambut hitam ikal, dan tampak
sekaligus tidak peduli dan sangat waspada. Sementara ia mengendarai
mobil yang membawa kami ke kampus Syracuse, ia terus-menerus
bimbang apakah ia tidak salah jalan. Ia tampak tenggelam di dalam
berbagai misteri. Saya mendapati diri saya dalam kedudukan yang
menggelisahkan dengan mengusulkan agar ia berbelok ke sini dan
berputar ke sana, sekalipun saya belum pernah mengunjungi Syracuse.
Alhasil, sekalipun kami berdua sama-sama tidak tahu jalan, kami
berhasil mencapai dengan selamat gedung tempat Penrose bekerja.
Ketika memasuki kamar kerja Penrose, kami mendapati seorang rekan
kerjanya meninggalkan sekaleng aerosol yang berwarna cerah
bertuliskan "Superstring" di atas mejanya. Ketika Penrose memencet
tombol di tutup kaleng itu, suatu bahan semacam spageti berwarna
hijau meloncat dari kaleng itu melintasi ruangan.
Penrose tersenyum saja melihat gurauan rekannya itu. 'Superstring'
bukan hanya nama suatu mainan anak-anak, melainkan juga nama dari
suatu partikel hipotetik yang mirip benang dan sangat kecil, yang
diduga adanya dalam suatu teori fisika populer. Menurut teori itu,
gerakan benang-benang ini di dalam ruang berdimensi sepuluh
menghasilkan semua materi dan energi di alam semesta ini dan bahkan
ruang dan waktu itu sendiri. Banyak ahli fisika terkemuka di dunia
merasa bahwa teori superstring mungkin merupakan teori penyatuan
yang mereka cari selama ini; beberapa di antara mereka malah
menamakannya teori segala sesuatu. Penrose bukanlah termasuk orang
yang percaya itu. "Itu tidak mungkin benar," katanya. "Bukan itu
jawaban yang saya harapkan." Saya mulai menyadari, sementara
Penrose berbicara, bahwa baginya 'jawaban' itu lebih daripada
sekadar teori fisika, sekadar cara mengorganisasikan data dan
meramalkan peristiwa. Ia bicara tentang 'Jawaban Akhir': rahasia
kehidupan, jawaban terhadap teka-teki alam semesta.
Penrose mengakui dirinya seorang Platonis. Para ilmuwan tidak
menciptakan kebenaran; mereka menemukannya. Kebenaran-kebenaran
yang sejati memancarkan keindahan, kelurusan, suatu kualitas yang
terlihat jelas, yang memberinya kekuatan ilham. Menurut Penrose,
teori superstring tidak memiliki sifat-sifat ini. Ia mengakui bawah
"saran-saran" yang dikemukakannya di dalam "The Emperor's New
Mind"--yang belum pantas disebut 'teori', katanya--agak kedodoran.
Mungkin saja kelak ternyata salah, bahkan hampir pasti salah di
dalam detailnya. Saya bertanya, apakah dengan berkata demikian,
Penrose menyiratkan bahwa pada suatu hari kelak para ilmuwan akan
menemukan 'Jawaban Akhir', dan dengan demikian mengakhiri seluruh
pencarian ini?
Tidak seperti sementara ilmuwan terkemuka, yang tampak menganggap
sikap berhati-hati sama dengan kelemahan, Penrose malah berpikir
sejenak sebelum menjawab, dan bahkan berpikir sambil menjawab.
"Saya rasa kita masih jauh," katanya perlahan-lahan, sambil
memandang keluar jendela kamar kerjanya, "tapi itu tidak berarti
bahwa pada suatu tahap tertentu tidak mungkin terjadi perkembangan
yang pesat." Ia merenung lagi. "Saya rasa ini menunjuk ke arah
adanya 'jawaban akhir'," lanjutnya, "sekalipun mungkin itu terlalu
pesimistik." Kalimatnya yang terakhir itu membuat saya tertegun.
Apanya yang pesimistik kalau seorang pencari kebenaran mengira
bahwa kebenaran mungkin tercapai, tanya saya. "Memecahkan misteri
memang baik," jawab Penrose. "Dan jika semua misteri telah
terpecahkan, bagaimana pun juga sedikit banyak akan membosankan."
Lalu ia bergumam, seolah-olah terkejut oleh keanehan kata-katanya
sendiri.
Lama setelah meninggalkan Syracuse, saya merenungkan kata-kata
Penrose. Mungkinkah sains berakhir? Dapatkah para ilmuwan
mempelajari segala sesuatu yang dapat dipelajari? Dapatkah mereka
mengenyahkan misteri dari alam semesta? Sukar bagi saya
membayangkan dunia tanpa sains, dan itu bukan hanya karena
pekerjaan saya bergantung padanya. Saya menjadi penulis sains
sebagian besar disebabkan karena saya menganggap sains--sains
murni, yakni mencari pengetahuan demi pengetahuan itu
sendiri--sebagai upaya manusia yang paling mulia dan paling
bermakna. Kita ada di sini untuk memahami mengapa kita ada di sini.
Tujuan apa lagi yang lebih pantas bagi manusia?
Saya tidak selamanya tergila-gila pada sains. Di kolese, saya
melewati suatu tahap ketika kritik sastra saya lihat sebagai
kegiatan intelektual yang paling menggairahkan. Namun, pada suatu
larut malam, sehabis minum banyak kopi, dan menghabiskan berjam-jam
menulis suatu tafsiran baru terhadap karya James Joyce Ulysses,
saya mengalami krisis kepercayaan. Berbagai orang pandai telah
berdebat selama berpuluh tahun tentang makna Ulysses. Tetapi salah
satu pesan kritisisme modern, dan sastra modern, adalah bahwa semua
naskah bersifat "ironik"; semua memiliki makna ganda, tidak satu
pun definitif. Oedipus Rex, Inferno, bahkan Alkitab dalam suatu
makna hanya sekadar "bercanda", tidak perlu dianggap terlalu
literal. Argumentasi tentang makna tidak pernah dapat
terselesaikan, oleh karena satu-satunya makna sejati dari suatu
naskah adalah naskah itu sendiri. Sudah tentu, pesan ini pun
berlaku untuk para kritikus itu sendiri. Yang tinggal akhirnya
adalah regresi tafsir-tafsir tanpa akhir, dan tidak satu pun
darinya merupakan kata akhir. Tetapi setiap orang tetap berdebat!
Untuk apa? Agar masing-masing kritikus tampak lebih cerdik, lebih
menarik, daripada yang lain? Semuanya tampak tidak berarti lagi.
Sekalipun bidang studi utama saya adalah bahasa Inggris, saya
mengambil sekurang-kurangnya satu mata kuliah sains atau matematika
setiap semester. Memecahkan soal-soal kalkulus atau fisika
merupakan pergantian suasana yang menyenangkan dari tugas-tugas
bidang humanities yang kacau; saya memperoleh kepuasan yang
mendalam dalam menemukan jawaban yang benar dari suatu soal.
Semakin saya mengalami frustrasi terhadap sudut pandang ironik dari
sastra dan kritik sastra, semakin saya mengapresiasikan pendekatan
sains yang lugas dan tidak omong-kosong. Para ilmuwan mampu
mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan memecahkannya dengan cara yang
tak dapat dilakukan oleh para kritikus, filsuf, dan ahli sejarah.
Teori-teori diuji secara eksperimental, dibandingkan dengan
realitas, dan yang tidak sesuai dibuang. Kekuatan sains tidak dapat
dimungkiri: sains telah memberikan kepada kita komputer dan pesawat
jet, vaksin dan bom termonuklir, berbagai teknologi yang, baik atau
buruk, telah mengubah jalan sejarah. Sains, lebih dari modus
pengetahuan lainnya--kritik sastra, filsafat, seni,
agama--menghasilkan pencerahan yang lestari tentang hakikat
benda-benda. Sains telah membawa kita sampai sejauh ini.
Pencerahan-mini saya pada akhirnya membawa saya menjadi penulis
sains. Peristiwa itu juga mewariskan kepada saya suatu kriteria
sains: sains menggarap masalah-masalah yang dapat dijawab,
setidak-tidaknya dalam prinsip, asal saja tersedia cukup waktu dan
sumber daya.
Sebelum saya bertemu dengan Penrose, saya menganggap sains itu
tidak berujung, bahkan tidak terbatas. Kemungkinan bahwa para
ilmuwan pada suatu hari kelak menemukan suatu kebenaran yang begitu
hebat sehingga tidak memerlukan penyelidikan-penyelidikan lebih
jauh saya anggap paling-paling isapan jempol, atau semacam
hiperbola yang dibutuhkan untuk menjual sains (atau buku-buku
sains) kepada masyarakat awam. Kesungguhan, dan ambivalensi, dari
Penrose dalam mengkaji prospek suatu teori final memaksa saya
menilai kembali pandangan-pandangan saya tentang masa depan sains.
Sementara waktu berjalan, saya menjadi terobsesi dengan masalah
itu. Apakah batas-batas sains itu, jika batas itu ada? Apakah sains
tidak terbatas, ataukah ia fana seperti kita? Jika fana, apakah
akhir dari sains sudah terlihat? Sudah menjelang?
Setelah pembicaraan saya yang pertama dengan Penrose, saya mencari
ilmuwan-ilmuwan lain yang mengadu otak mereka dengan batas
pengetahuan: para ilmuwan fisika partikel, yang bermimpi tentang
suatu teori terakhir dari materi dan energi; para ahli kosmologi,
yang mencoba memahami secara tepat bagaimana dan kapan alam semesta
kita tercipta; para ahli biologi evolusioner, yang mencoba
menetapkan bagaimana asal mula kehidupan, serta hukum-hukum apa
yang mengatur pemekarannya kemudian; para ahli neurosains yang
meneropong proses-proses dalam otak yang menghasilkan kesadaran;
para penjelajah khaos dan kompleksitas, yang berharap dengan
komputer dan teknik-teknik matematis baru dapat menghidupkan
kembali sains. Saya juga bicara dengan para filsuf, termasuk
beberapa orang yang dikabarkan meragukan apakah sains akan pernah
mencapai kebenaran yang objektif dan mutlak. Saya menulis sejumlah
artikel tentang ilmuwan dan filsuf ini untuk majalah Scientific
American.
Ketika pertama kali saya berpikir untuk menulis sebuah buku, saya
membayangkannya sebagai suatu seri potret, yang menampilkan sampai
ke bisul-bisulnya, dari semua pencari kebenaran dan penolak
kebenaran yang dapat saya wawancarai. Saya bermaksud menyerahkan
kepada pembaca untuk menentukan sendiri, mana ramalan masa depan
sains yang masuk akal dan mana yang tidak. Bagaimana pun juga,
siapakah yang sungguh-sungguh tahu, apakah batas terakhir dari
pengetahuan? Tetapi berangsur-angsur, saya mulai membayangkan bahwa
saya tahu; saya merasa yakin bahwa satu skenario tertentu lebih
mungkin ketimbang semua yang lain. Saya memutuskan untuk tidak
menganut keobyektifan jurnalistik, dan menulis sebuah buku yang
terang-terangan menilai, bersifat argumentatif, dan personal.
Sementara tetap berfokus pada ilmuwan dan filsuf secara individual,
buku ini akan menyajikan pula pandangan saya. Saya merasa
pendekatan itu akan lebih sesuai dengan keyakinan saya bahwa
kebanyakan pernyataan tentang batas-batas pengetahuan pada akhirnya
bersifat sangat idiosinkratik (bersifat khas individual).
Sekarang sudah jelas bahwa ilmuwan bukanlah sekadar mesin penghasil
pengetahuan; mereka dituntun oleh emosi dan intuisi di samping
penalaran dingin dan perhitungan. Saya mendapati, ilmuwan jarang
menunjukkan sifat manusiawinya, begitu terombang-ambing oleh
ketakutan dan keinginan mereka, seperti ketika mereka berhadapan
dengan batas-batas pengetahuan. Para ilmuwan yang terbesar
semata-mata berharap untuk menemukan kebenaran-kebenaran tentang
alam semesta (di samping memperoleh ketenaran, hadiah, dan jabatan
di perguruan tinggi, serta memperbaiki kehidupan umat manusia);
mereka ingin tahu. Mereka berharap, dan percaya, bahwa kebenaran
[terakhir] dapat dicapai, bukan sekadar ideal atau asimtot
(pendekatan), yang mereka dekati terus-menerus. Mereka juga
percaya, seperti saya juga, bahwa pencarian pengetahuan adalah
kegiatan manusia yang paling mulia dan paling berarti.
Ilmuwan yang menganut kepercayaan ini sering kali dituduh arogan.
Beberapa memang arogan, bahkan sangat arogan. Tetapi saya
mendapati, banyak yang lain yang merasa cemas alih-alih arogan.
Dewasa ini adalah masa-masa sulit bagi pencari kebenaran. Kegiatan
ilmiah terancam oleh kaum teknofob (orang yang fobi terhadap
teknologi), pejuang hak asasi binatang, kaum fundamentalis agama,
dan yang paling penting, para politisi kikir. Berbagai kendala
sosial, politis, dan ekonomis membuat lebih sukar untuk
mempraktekkan sains, khususnya sains murni, di masa depan.
Lagipula, sains sendiri, sambil maju, selalu menetapkan batas-batas
pada kekuatannya sendiri. Teori relativitas khusus Einstein
melarang penyebaran materi atau bahkan informasi pada kecepatan
lebih dari kecepatan cahaya; mekanika kuantum mendalilkan bahwa
pengetahuan kita tentang alam mikro akan selalu tidak pasti; teori
khaos menguatkan bahwa, sekalipun tanpa ketidakpastian kuantum,
banyak fenomena tidak mungkin diramalkan; dalil ketidaklengkapan
Kurt Goedel memustahilkan penyusunan suatu deskripsi matematis yang
lengkap dan konsisten dari realitas. Dan biologi evolusioner
terus-menerus mengingatkan kita bahwa kita adalah hewan, yang
didesain oleh seleksi alamiah bukan untuk menemukan
kebenaran-kebenaran mendalam tentang alam semesta, melainkan untuk
berkembang biak.
Kaum optimis, yang berpendapat bahwa mereka dapat mengatasi semua
batas-batas ini, masih harus menghadapi lawan lain, mungkin yang
paling merisaukan. Apakah yang akan dilakukan oleh para ilmuwan,
jika mereka berhasil mengetahui apa yang dapat diketahui? Lalu,
apakah tujuan hidup sesudah itu? Apa tujuan umat manusia sesudah
itu? Roger Penrose mengungkapkan kecemasannya terhadap dilema ini
ketika ia menyebut impiannya tentang suatu teori terakhir sebagai
pesimistik.
Menghadapi masalah-masalah yang menggelisahkan ini, tidak heran
bila banyak ilmuwan yang saya wawancarai untuk buku ini tampak
tercekam oleh kebimbangan yang mendalam. Tetapi malaise mereka,
menurut saya, mempunyai akar lain yang lebih langsung. Jika kita
peracya akan sains, kita harus menerima kemungkinan--atau
kemungkinan besar--bahwa zaman penemuan sains yang besar telah
lewat. Yang saya maksud dengan sains bukanlah sains terapan,
melainkan sains yang paling murni dan paling besar, yakni upaya
primordial manusia untuk memahami alam semesta dan tempat kita di
dalamnya. Penelitian lebih jauh mungkin tidak akan memberikan lagi
pencerahan dan revolusi besar, melainkan sekadar hasil-hasil
tambahan yang makin lama makin kecil.
Kecemasan Pengaruh Ilmiah
Dalam mencoba memahami suasana hati para ilmuwan modern, saya
mendapati bahwa ide-ide dari kritik sastra dapat dimanfaatkan.
Dalam esainya pada th 1973 yang berpengaruh, "The Anxiety of
Influence" (Kecemasan Pengaruh), Harold Bloom menyamakan penyair
modern dengan Setan dalam karya Milton, "Paradise Lost". Seperti
Setan yang berjuang untuk menampilkan individualitasnya dengan
menantang kesempurnaan Tuhan, begitu pula penyair modern terlibat
pergulatan seperti Oedipus untuk menemukan jatidirinya dalam
hubungannya dengan Shakespeare, Dante, dan para master besar
lainnya. Upaya itu mau tidak mau akan sia-sia, kata Bloom, karena
tidak ada penyair bisa berharap untuk mendekati, apalagi melampaui,
kesempurnaan para pendahulu itu. Semua penyair modern pada dasarnya
adalah tokoh-tokoh tragis, pendatang belakangan.
Para ilmuwan modern pun pendatang belakangan, dan beban mereka jauh
lebih berat ketimbang para penyair. Para ilmuwan tidak hanya harus
menerima "King Lear" dari Shakespeare, tapi juga hukum-hukum gerak
dari Newton, teori seleksi alamiah dari Darwin, dan teori
relativitas umum dari Einstein. Teori-teori ini bukan hanya indah;
mereka juga benar, benar secara empiris, sedemikian rupa tidak
dapat ditiru oleh suatu karya seni. Kebanyakan peneliti terpaksa
mengakui ketidakmampuan mereka untuk melampaui apa yang oleh Bloom
disebut "kejengahan suatu tradisi yang sudah menjadi begitu kaya
sehingga tidak membutuhkan apa-apa lagi." Mereka mencoba memecahkan
apa yang secara merendahkan disebut oleh filsuf ilmu Thomas Kuhn
sebagai "teka-teki" (puzzles), yakni problem-problem yang
pemecahannya sekadar mendukung paradigma yang ada (tidak
menghasilkan paradigma baru). Mereka sekadar memperhalus dan
menerapkan temuan-temuan rintisan yang brilyan dari para pendahulu
mereka. Mereka mencoba mengukur massa quark dengan lebih teliti,
atau menetapkan bagaimana suatu bagian tertentu dari DNA menuntun
perkembangan otak embrionik. Sedangkan yang lain menjadi apa yang
dilecehkan oleh Bloom sebagai "sekadar pemberontak,
penjungkir-balik kekanak-kanakan dari kategori-kategori moral
konvensional." Para pemberontak ini mengecilkan arti teori-teori
ilmiah yang dominan sebagai rekayasa sosial yang rapuh, alih-alih
sebagai deskripsi dari alam yang teruji secara ketat.
Apa yang oleh Bloom disebut "penyair kuat" menerima kesempurnaan
para pendahulu mereka, namun berupaya melampauinya dengan berbagai
muslihat, termasuk penyalahtafsiran secara halus terhadap
karya-karya pendahulu mereka; hanya dengan demikian para penyair
modern dapat membebaskan diri dari pengaruh masa lampau yang
melumpuhkan. Terdapat pula para "ilmuwan kuat", yakni mereka yang
mencoba menyalahtafsirkan, dan dengan demikian mengatasi, mekanika
kuantum atau teori "big bang" atau evolusi Darwin. Roger Penrose
adalah seorang ilmuwan kuat. Untuk sebagian besar, ia dan
orang-orang lain sejenisnya hanya mempunyai satu pilihan: yakni
menjalankan sains dengan cara yang spekulatif, pasca-empiris, yang
saya sebut "sains ironis". Sains ironis menyerupai kritik sastra
dalam hal menyajikan sudut pandang-sudut pandang, opini-opini, yang
setidak-tidaknya menarik, yang merangsang komentar lebih lanjut.
Tetapi sains ironis tidak mendekat kepada kebenaran. Ia tidak dapat
mencapai kejutan-kejutan yang dapat dibuktikan secara empiris, yang
memaksa para ilmuwan mengadakan perbaikan penting dalam deskripsi
mereka tentang realitas.
Strategi yang paling sering dipakai oleh kaum ilmuwan kuat adalah
menampilkan semua kelemahan dari pengetahuan ilmiah yang ada
sekarang, semua pertanyaan yang belum terjawab. Tetapi
pertanyaan-pertanyaan itu mungkin tidak akan pernah terjawab secara
definitif oleh karena keterbatasan sains manusiawi. Bagaimana
persisnya alam semesta ini tercipta? Mungkinkah alam semesta kita
merupakan satu saja dari sejumlah alam semesta yang tak terbatas
banyaknya? Mungkinkah quark dan elektron terdiri dari
partikel-partikel yang lebih kecil lagi, dan seterusnya ad
infinitum? Apakah makna sesungguhnya dari mekanika kuantum?
(Kebanyakan pertanyaan tentang makna hanya dapat dijawab secara
ironis, sebagaimana diketahui dalam kritik sastra.) Biologi juga
mempunyai teka-tekinya sendiri yang tak terpecahkan. Bagaimana
persisnya kehidupan mulai di bumi? Apakah terjadinya kehidupan dan
perjalanan evolusinya seperti yang kita lihat ini bersifat niscaya
(tidak mungkin ada alternatif lain)?
Pelaku sains ironis mempunyai satu kelebihan dibandingkan penyair
kuat: yakni selera pembaca awam terhadap "revolusi" ilmiah.
Sementara sains empiris membatu, para jurnalis seperti saya, yang
memuaskan kehausan masyarakat, akan mengalami tekanan yang semakin
berat untuk menampilkan teori-teori yang dianggap melampaui
mekanika kuantum atau teori "big bang" atau seleksi alamiah.
Bagaimana pun juga, para jurnalislah yang sebagian besar
bertanggung-jawab bagi terciptanya kesan populer bahwa
bidang-bidang seperti khaos dan kompleksitas mewakili sains baru
yang lebih tinggi daripada metode reduksionis dari Newton,
Einstein, dan Darwin. Para jurnalis, termasuk saya, telah membantu
ide-ide tentang kesadaran dari Roger Penrose diterima oleh kalangan
yang jauh lebih luas dari yang sepatutnya, menilik kedudukannya
yang lemah di kalangan ahli neurosains profesional.
Saya tidak bermaksud menyiratkan bahwa sains ironis tidak punya
nilai. Jauh dari itu. Setidak-tidaknya, sains ironis, seperti juga
seni dan filsafat yang besar, atau bahkan kritik sastra,
membangkitkan kekaguman dalam diri kita; ia memelihara ketakjuban
kita di hadapan misteri alam semesta. Tetapi ia tidak dapat
mencapai cita-cita mengatasi kebenaran yang telah kita miliki. Dan
jelas ia tidak bisa memberikan kepada kita--malah, ia melindungi
kita dari--"Jawaban Terakhir", yakni suatu kebenaran yang begitu
kuat sehingga melenyapkan keingintahuan kita untuk selama-lamanya.
Bagaimana pun juga, sains sendiri mendalilkan bahwa kita sebagai
manusia selamanya harus puas dengan kebenaran-kebenaran sebagian.
Di dalam sebagian besar dari buku ini, saya akan memeriksa sains
seperti yang dipraktekkan pada hari ini, oleh manusia. (Bab 2
membahas filsafat.) Dalam dua bab terakhir, saya membahas
kemungkinan--yang dikemukakan oleh ilmuwan dan filsuf yang
jumlahnya mengejutkan--bahwa pada suatu hari kelak kita manusia
akan menciptakan mesin yang cerdas yang dapat mengatasi pengetahuan
kita yang kerdil. Dalam versi favorit saya tentang skenario ini,
mesin-mesin akan mengubah seluruh kosmos ini menjadi jaringan
pemroses informasi yang terpadu. Semua materi menjadi batin. Jelas,
proposal ini bukan sains, melainkan impian indah. Namun itu
mengangkat sejumlah pertanyaan menarik, pertanyaan yang biasanya
dibahas oleh para ahli teologi. Apakah yang akan dilakukan oleh
sebuah komputer kosmik yang mahakuasa? Apakah yang akan
dipikirkannya? Saya hanya dapat membayangkan satu kemungkinan. Ia
akan mencoba menemukan "Jawaban Terakhir", jawaban yang tersembunyi
di balik semua pertanyaan, seperti seorang aktor yang memainkan
semua peran dari suatu lakon: Mengapa ada, dan bukan tidak ada? Di
dalam upayanya menemukan "Jawaban Terakhir" terhadap "Pertanyaan
Terakhir", batin universal itu mungkin menemukan batas terakhir
dari pengetahuan.
*) Diterjemahkan dari John Horgan, "The End of Science: Facing the Limits of
Knowledge in the Twilight of Scientific Age", 1997,
By : Eryan Ariobowo (Teknik Fisika ITB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar